Italia di bawah kekuasaan Goth
Pada tahun 476, Kekaisaran Romawi Barat digulingkan ketika Odoaker menggulingkan Kaisar Romulus Augustulus dan menobatkan dirinya sendiri sebagai Rex Italiae ("Raja Italia"). Meskipun ia mengakui kekuasaan dari Kaisar Bizantium, Zeno, kebijakannya mengenai kemerdekaan dan peningkatan kekuatannya membuat Kerajaan Ostrogoth menjadi ancaman di mata Konstantinopel. Pada masa ini, Ostrogoth, di bawah kepemimpinan Theodoric, selain hidup sebagai foederati dari kekaisaran di wilayah Balkan Barat juga mulai menumbuhkan bibit-bibit pemberontakan. Zeno memutuskan untuk "membunuh dua burung dengan satu batu", dengan mengirim kaum Ostrogoth ke Italia untuk menggulingkan Odoaker, dan Italiapun menjadi wilayah kekuasaan Goth. Walaupun demikian, sesuai dengan kesepakatan sebelumnya dengan Theodoric, Zeno dan penerusnya Anastasius I, wilayah Italia dan penduduknya dianggap sebagai bagian dari Kekaisaran Bizantium, sedangkan Theodoric hanya berfungsi sebagai perwakilan kerajaan (viceroy) sekaligus kepala urusan militer (magister militum).[1] Kesepakatan ini sudah diteliti oleh Theodoric: administrasi tetap berjalan seperti biasa dan hanya dijalankan secara eksklusif oleh warga negara Romawi, dan legislasi tetap menjadi hak prerogatif Kaisar.[2] Di saat yang sama, angkatan bersenjata tetap dikhususkan bagi orang-orang Goth, yang dikepalai oleh kepala-kepala suku mereka sendiri, lengkap dengan pengadilannya sendiri.[3] Kedua suku ini lebih jauh dipisahkan oleh agama: populasi Romawi menganut aliran Khalsedon, sedangkat orang-orang Goth menganut aliran Arian, meskipun demikian, tidak seperti suku Vandal atau angkatan Visigoth awal, toleransi beragama telah dijalankan.[4] Dual System yang rumit ini berjalan dengan efektif di bawah kepemimpinan Theodoric yang kuat, yang mengetahui bagaimana cara menjalankan kebijakan sendiri, tanpa mengasingkan aristokrat-aristokrat Romawi. Namun, sistem ini mulai terpecah belah pada tahun-tahun akhir kekuasaannya dan runtuh sepenuhnya di tangan penerus-penerusnya.
Dengan kenaikan Justinianus I, berakhirnya skisma Acacius, dan kembalinya persatuan eklesik dengan Romawi Timur, beberapa anggota aristokrat senat Italia mulai mendekatkan diri dengan kekuasaan Konstantinopel untuk menyeimbangkan dominasi bangsa Goth. Penggulingan dan pembunuhan magister officiorum Boethius dan mertuanya pada tahun 524 merupakan salah satu gejala dari dimulainya pengasingan kasta mereka dari rezim Goth. Ketika Theodoric mangkat pada Agustus 526, tampuk kekuasaan dilanjutkan oleh cucunya Athalaric. Mengingat bahwa ia masih seorang bayi, kursi tertinggi pemerintahan untuk sementara dipegang oleh ibu Athalaric, Amalasuntha, yang telah mendapatkan pendidikan ala Romawi dan memulai kebijakan rekonsiliasi dengan Senat dan kekaisaran.[5] Kebijakan-kebijakan ini, dan usahanya mendidik Athalarik dengan gaya Romawi, menimbulkan ketidaksenangan di kalangan pemimpin Goth, yang memulai plot-plot keras melawan Amalasuntha. Melihat bahaya ini, Amalasuntha mengeksekusi tiga konspirator, dan pada saat yang sama, menulis surat kepada kaisar baru, Justinianus I, dan meminta suaka politik jika ia terpaksa untuk meninggalkan Italia. Kendati demikian, Amalasuntha tetap menjadi pemimpin Italia,[6] meskipun setelah kematian sang anak pada 534. Dalam mencari dukungan, ia memilih sepupunya Theodahad untuk diangkat sebagai raja. Langkah ini merupakan langkah yang cukup fatal, karena kemudian Theodahad menangkap Amalasuntha dan pada awal tahun 535 mengeksekusinya.[7]
Kebijakan dan persiapan Justinianus
Pada tahun 533, dengan memanfaatkan sengketa dinasti, Justinianus mengirim panglimanya yang paling berbakat, Belisarius, untuk mengembalikan provinsi-provinsi Afrika Utara dari tangan suku Vandal. Perang Vandal menghasilkan kemenangan yang cepat dan penting bagi Kekaisaran Bizantium. Selama perang ini, Amalasuntha telah mengizinkan armada Bizantium untuk menggunakan pelabuhan-pelabuhan di Pulau Sisilia, yang dikuasai oleh Kerajaan Ostrogoth, sebagai daerah basis operasi.[8] Lewat agen-agennya, Justinianus berusaha untuk menyelamatkan nyawa Amalasuntha, tetapi gagal. Kematiannya, dalam kondisi apapun, memberikan alasan yang sempurna untuk memulai peperangan. Seperti yang ditulis oleh Procopius: "tak lama setelah ia [Justinianus] mendengar apa yang terjadi pada Amalasuntha, pada tahun kesembilan kekuasaanya, ia memasuki kancah peperangan."[9]
Belisarius diangkat sebagai panglima angkatan bersenjata (‘‘stratēgos avtokratōr‘‘) ekspedisi melawan Italia dengan kekuatan 7,500 tentara, sedangkan Mundus, magister militum per Illyricum, ditugaskan untuk menduduki Dalmatia. Harus diperhatikan disini bahwa kekuatan pasukan pimpinan Belisarius relatif jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan saat ia melawan suku Vandal, musuh yang jauh lebih lemah dibandingkan suku Ostrogoth. Persiapan operasi militer dilaksanakan dalam kerahasiaan penuh, sambil Justinianus mencoba mengamankan netralitas suku Franka dengan memberi mereka hadiah berupa emas.[10]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar